2.1 ETIOLOGI
Disebabkan
oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat
polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan
sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan
palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf
cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik
dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran
mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,
kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil
ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium
tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium
Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil,
glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.
Menurut
bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil
yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan
tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis,
koloninya kecil, halus, warna hitam,
konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate,
koloninya kecil, halus, mempunyai
bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan
jenis mitis. Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan
tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis
bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis,
kadang-kadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak
virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi
non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium
atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in
vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae
yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan
pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
- Elek precipitin test,
telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat
sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
- Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
- Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam,
lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang
membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik,
basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang
bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan Corynebacterium
serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk
gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan
agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
o Pseudomembran yang sukar diangkat,
mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin,
leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
o Eksotoksin yang sangat ganas dan
dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran
perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan
saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima
puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai
untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari
batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh
bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri
ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada
jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria
akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan
hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah
mengering.
2.2 PREVALENSI
Difteri
tersebar di seluruh
dunia, prevalensi penyakit
difteri makin hari
makin berkurang
dengan
dilakukan program imunisasi aktif pada anak
balita hampir di setiap negara
(Chandra, 2011).
Empat dari lima
kasus fatal terjadi
di kalangan anak-anak
tidak
divaksinasi (Tiwari,
2008). Difteri masih
menjadi masalah di
dunia. Di Amerika
Serikat dari
tahun 1980 hingga
1998 kejadian difteri
dilaporkan rata-rata 4
kasus
setiap
tahunnya. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan
kemudian
menyebar ke negara-negara lain yang dahulubergabung dalam Uni Soviet
dan
Mongolia (Chin, 2000).
Difteri mulai
bermunculan kembali di
beberapa provinsi di
Indonesia. Pada
tahun
2007 terjadi 183 kasus dengan 11 kematian (Case Fatality Rate/CFR 6.01%)
(Depkes,
2008). Pada tahun 2008 terjadi 219 kasus (Depkes, 2009a). Pada tahun 2009
terjadi
189 kasus dengan 7 kematian (CFR 3,7%) di 11 provinsi dan sampai dengan
periode
September 2010 telah terjadi 183 kasus dengan 103 kematian (CFR 56,3%)
yang
menyebar di 8 provinsi di Indonesia
(Depkes RI, 2010).
2.3 DEFINISI
Diphtheria atau
difteri adalah penyakit infeksi yang menyerang selaput mukosa hidung dan
tenggorokan. Penyakit ini dapat menyancam jiwa penderitanya. Dapat pula pertama
kali menyerang kulit penderita.
2.4 FAKTOR RISIKO
Seseorang akan mudah terjangkit penyakit Difteri diantaranya :
2.4.1 Apabila immunisasinya tidak lengkap
2.4.2 Apabila tinggal di daerah padat penduduk yang kurang higenis
2.4.3 Apabila mengalami kekebalan tubuh yang rendah (compromised immune
system)
2.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
PENYAKIT
Patogen
dari penyakit dipteri adalah bakteri
corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan,
terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau
tenggorokan) dan laring.
Patogenesis
·
Diphtheria bisa ada di saluran
nafas, luka, kulit orang yg terinfeksi atau carrier
·
Toxin difteri : polipeptida, heat
labile, BM 62.000, dosisletal 0,1 µg/kg
·
Toxin menghalangi sintesa protein
sel shg mengalami kerusakan
·
fibrin, eritrosit dan leukosit berkumpul shg
terbentuk pseudo membrane abu-abu, sering pd tonsil, faring atau laring, bila
dimanipulasi akan berdarah, rusak ,Toxin diserap mukosa dan sel epitel
·
Terjadi pembesaran kelenjar limfe
regional.
·
Bakteri terus tumbuh dalam membrane
memproduksi toxin menyebabkan kerusakan lebih jauh, kerusakan parenkim,
infiltrasi lemak, nekrosis otot jantung, hati, ginjal dan kelenjar adrenal,
kadang disertai perdarahan akut.
·
Difteri pada luka atau kulit terjadi
terutama didaerah tropik, Nampak luka yg sulit
sembuh tp absorbsi toxin hanya ringan, sistemik jarang. Toxin yg
terbentuk memicu terbentuknya antibody terhadap toxin
·
Diphtheria infeksinya local tdk
masuk kejaringan atau kedarah
Patogenesis
dari penyakit dipteri ini melalui 3 tahap yaitu :
1. Tahap
Inkubasi (tahap masuknya agent)
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau
mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar
permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.
Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari
tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Masa
inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa
penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau
kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi.
Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2.
Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama
kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi
peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada
lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan
saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
3.
Tahap Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan
ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah
putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa
terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga mengalami kesulitan bernafas.
2.6 PATOFISIOLOGI KLINIS DAN GEJALA
Gejala penyakit difteri
ini adalah :
1. Panas lebih dari 38oC
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher.
1. Panas lebih dari 38oC
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher.
Tidak
semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit
waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane.
Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak
khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan
(throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.Gejala diawali dengan nyeri
tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual,
muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher
sering terjadi.
1.
Gambaran Klinis Diphtheria Hidung
·
Lebih
sering terjadi pada bayi
·
Permulaan mirip ISPA dengan pilek, selesmadan febris ringan
·
Sekret hidung menjadi serosangunous
·
kemudian
mukopululen yang berbau.
·
Nares
dan bibir atas menjadi lecet kemudian
·
munculnya
pseudomembrane putih-kelabu
2.
Gambaran
Klinis Diphtheria Tonsil Faring
·
Limfoadenitis leher & submandibular“bullneck”
·
Dengan
pseudomembrane meluas menutup
·
jalan nafas, stupor, koma, mati dalam 7 – 10hari.
·
Pada
kasus ringan pseudomembrane bisa
·
terlepas
dan sembuh 7 – 10 hari.
“Bullneck” dari Diphtheria
Limfoadenitis
leher dan submandibular
·
“bullneck”, dan edema muka
3.
Gambaran Klinis Diphtheria Laring
·
Gejala
biasanya dari perluasan diphtheria faring
·
tetapi
bisa primer dengan gejala kurang nyata.
·
Obstruksi saluran nafas
♦ Suara parau
♦ Stridor bagian inspiratur pada
mulanya,
kemudian
progresif & bifasik (inspir & expir)
♦ Retraksi suprasternal & supraklavikular
·
Bila
pseudomembrane terlepas, bisa diaspirasi
·
dan
menutup jalan nafas
·
mati
mendadak
4.
Gambaran
Klinis Diphtheria Lain
·
Berupa
tukak (ulcer) di kulit,
·
vulvovagina
& konjunctiva.
·
Tepinya
jelas & mungkin ada pseudomembrane pada
·
dasarnya.
·
Rasa
sakit-nyeri
·
Cenderung
menjadi tukak kronis di daerah tropis
·
Di
telinga berupa otitis externa
kronis yang
bernanah dan berbau.
2.7 KOMPLIKASI
1. Masalah Pernafasan
Coryneabacterium diphteriae dapat menghasilkan racun yang
menginfeksi jaringan di daerah hidung & tenggorokkan. Infeksi tersebut
menghasilkan membran putih keabu-abuan (psedomembran) terdiri dari membran
sel-sel mati, bakteri dan zat-zat lainnya yang dapat menghambat pernapasan.
Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini
berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun
secara drastis dan menyebabkan gagal napas. Terjadi juga obstruksi jalan nafas
dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.
2. Kerusakan Jantung
Selain paru-paru, toksin difteri dapat menyebar melalui
aliran darah dan merusak jaringan lain dalam tubuh seperti otot jantung,
sehingga menyebabkan komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis).
Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak
teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.
3. Kerusakan Saraf
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya
pada tenggorokkan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan
kesulitan menelan. Bahkan saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyababkan
otot menjadi lemah. Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan
untuk bernapas, maka otot-otot ini dapat menjadi lumpuh kalau sudah seperti
itu, maka diperlukan alat bantu napas. Selain itu beberapa otot seperti otot
langit-langit, otot mata, otot tungkai mengalami kelumpuhan. Penderita difteri
10% akan mengalami komplikasi yang
mengenai sistem susunan saraf, terutama sistem motorik. Selain itu beberapa
otot seperti otot langit-langit, otot mata, otot tungkai dan otot saluran
pernapasan mengalami kelumpuhan.
4. Urogenital
Dapat terjadi nefritis sehingga harus diperhatikan warna
dan volumenya apakah normal atau tidak.
2.8 PENATALAKSANAAN MEDIS DAN
FISIOTERAPI
Penatalaksanaan medis
a.
Pengobatan
umum
Tirah baring mutlak
selama 10-14 hari. Pada miokarditis, tirah
baring selama 4-6 minggu.
Diberi cukup cairan
dan kalori serta makanan lunak dan mudah dicerna.
Pada penderita
gawat, mungkin perlu cairan perinfus.
Isolasi penderita
dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain
pemeriksaan EKG setiap minggu.
b.
Pengobatan
khusus
Antitoksin: Anti
Diphteria Serum (ADS)
Diberikan sebanyak
20.000 unit/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji
kulit dan mata. Bila ternyata penderita sensitive terhadap serum tersebut, maka
harus dilakukan desensitisasi secara bertahap.
Antimikroba
Kortikosteroid
Dapat diberikan
prednison 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu kemudian diberhentikan secara bertahap.
Pada penderita dengan penyulit jantung perlu dipertimbangkan.
Penatalaksanaan fisioterapi
a. Nebulizer
Dapat
mengencerkan dahak sehingga dahak mudah dikeluarkan, sehingga melancarkan pernapasan. Berikan
obat sesuai indikasi mukolitik, ekspektoran, bronchodilator, analgesic.Analgesic diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan
ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat
menurunkan upaya batuk atau menekan pernafasan.
b.
Fisioterapi
dada
Mencegah
penumpukan sekret, membantu membersihkan sekret, sehingga pasien dapat bernapas
dengan bebas dan tubuh mendapatkan oksigen yang cukup.
c.
Ajarkan batuk
efektif
Batuk dapat
membantu mengeluarkan sekret.
d.
Postural
drainage
Dapat
dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran nafas tetapi juga
mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi atelektasis.
e.
Terapi exercise
Terapi latihan adalah suatu teknik
fisioterapi untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi otot, tulang, jantung dan
paru-paru, agar menjadi lebih baik pada seorang pasien.Pemberian terapi latihan
baik secara aktif maupun pasif, baik menggunakan alat maupun tanpa menggunakan
alat dapat memberikan efek naiknya adaptasi pemulihan kekuatan tendon, ligament
serta dapat menambah kekuatan otot
Mbk boleh minta no. Telp klinik fisioterapi khusus parkinson? Terima kasih. Aken
BalasHapusMbk boleh minta no. Telp klinik fisioterapi khusus parkinson? Terima kasih. Aken
BalasHapus