Sabtu, 11 Februari 2017

Lesi Plexus Brachialis












DEFINISI


Plexus brachialis adalah sebuah jaringan saraf tulang belakang yang berasal dari belakang leher, meluas melalui aksila (ketiak), dan menimbulkan saraf untuk ekstremitas atas. Pleksus brakhialis merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus anterior radiks saraf C5-T1.


Lesi plexus brachialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf hingga saraf terminal.


Plexus brachialis menerima komponen symphatis melalui ganglion cervicale medius, yaitu n.spinalis C5-6, melalui ganglion cervicale inferius atau ganglion stellatum untuk n.spinalis C6-7-8, dan melalui ganglion para vetebrae ThI dan II nervus spinalis Th.1-2.











GEJALA


· Trauma lahir pleksus brakialis berupa gangguan fungsi dan posisi otot ekstremitas atas.


· Timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan bahkan autonomik pada bahu dan/atau ekstremitas atas.


· Paresis atau paralisis akibat kerusakan syaraf perifer ini dapat bersifat temporer atau permanen.




ETIOLOGI


· Trauma


Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic.


· Tumor


Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma, malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ; jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)


· Radiation-induced


Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru.


· Entrapment


Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet syndrome. Postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga menekan struktur neurovaskuler. Adanya iga accessory atau jaringan fibrous juga berperan menyempitkan thoracic outlet. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung dengan hilangnya gejala setelah operasi mammoplasti reduksi. Implantasi mammae juga dikatakan dapat menyebabkan cedera pleksus brakhialis karena dapat nmeningkatkan tegangan dibawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskuler.




PATOFISIOLOGI


Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus. Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan menjepit jaringan saraf sekitarnya.




DERAJAT KERUSAKAN


Derajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland (1951).






A. Klasifikasi Sheddon, yaitu :


· Neuropraksia


Pada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak. Dengan adanya kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan.


· Aksonotmesis


Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan motorik.


· Neurotmesis


Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun dengan penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan dibutuhkan waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat kerusakan paling berat.






B. Klasifikasi Sunderland


· Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)


· Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)


· Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan epineural masih intak.


· Tipe IV :aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural masih baik.


· Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural (neurotmesis).




PLEXOPATI SUPRACLAVICULAR DAN INFRACLAVICULAR


1. PLEXOPATI SUPRACLAVICULAR


Pada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks saraf, trunkus saraf atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding lesi infraklavikuler.


A. Lesi tingkat radiks


Pada lesi pleksus brakhialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis sesuai dengan dermatom dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat terjadi partial paralisis dan hilangnya sensorik inkomplit, karena otot-otot tangan dan lengan biasanya dipersyarafi oleh beberapa radiks.


B. Sindroma Erb-Duchenne


Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi akibat trauma. Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis, pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan


C. Sindroma Klumpke’s Paralysis


a. Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior.


b. Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik.


c. Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi.


d. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan ulnaris.


e. Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan tangan.


D. Lesi di trunkus superior


a. Lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan otot rhomboid, seratus anterior, levator scapula dan saraf supra - & infraspinatus.


b. Terdapat gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan


E. Lesi di trunkus medial


a. Sangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan daerah pleksus lainnya (trunkus superior dan/atau trunkus inferior).


b. Gejala klinis didapatkan kelemahan otot triceps dan otot-otot yang dipersyarafi n. Radialis (ekstensor tangan), serta kelainan sensorik biasanya terjadi pada dorsal lengan dan tangan.


F. Lesi di trunkus inferior


a. Gejala klinisnya yang hampir sama dengan sindroma Klumpke di tingkat radiks.


b. Terdapat kelemahan pada otot-otot tangan dan jari-jari terutama untuk gerakan fleksi, selain itu juga kelemahan otot-otot spinal intrinsik tangan.


G. Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus)


a. Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri.


b. Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal (trunkus)






2. PLEXOPATI INFRACLAVICULAR


A. Lesi di fasikulus lateral


a. Dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang dipersyarafi oleh n. Muskulocutaneus dan sebagian dari n. Medianus.


b. Gejala klinisnya yaitu kelemahan otot fleksor lengan bawah dan pronator lengan bawah, sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak terkena.


B. Lesi di fasikulus medial


a. Disebabkan oleh dislokasi subkorakoid dari humerus.


b. Kelemahan dan gejala sensorik terjadi dikawasan motorik dan sensorik n. Ulnaris.


c. Secara keseluruhan kelaianan hampir menyerupai lesi di trunkus inferior. Kelainan sensorik terlihat pada lengan atas dan bawah medial, tangan dan 2 jari tangan bagian medial.


C. Lesi di fasikulus posterior


a. Lesi ini jarang terjadi. Gejala klinisnya yaitu terdapat kelemahan dan defisit sensorik dikawasan n. Radialis.


b. Otot deltoid (abduksi dan fleksi bahu), otot-otot ekstensor lengan, tangan dan jari-jari tangan mengalami kelemahan.




PENANGANAN FISIOTERAPI


a. Terapi Latihan






1) Pada trauma yang ringan yang hanya berupa edema atau perdarahan ringan pada pangkal saraf, fiksasi hanya dilakukan beberapa hari atau 1 – 2 minggu untuk memberi kesempatan penyembuhan yang kemudian diikuti program mobilisasi atau latihan.


2) Immobilisasi lengan yang lumpuh dalam posisi lengan atas abduksi 90 derajat, siku fleksi 90 derajat disertai supine lengan bawah dan pergelangan tangan dalam keadaan ekstensi


3) Beri penguat atau bidai selama 1 – 2 minggu pertama kehidupannya dengan cara meletakkan tangan bayi yang lumpuh disebelah kepalanya.


4) Rujuk ke rumah sakit jika tidak bisa ditangani.


5) Pembedahan










b. Terapi Fisioterapi






1. RICE (rest, ice, compression and elevation) /untuk masa akut


a) Istirahat


b) Terapi dingin : digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, dapat diberikan dengan modalitas sederhana seperti cold pack atau dengan cryojet air yang mengluarkan uap air dingin bersuhu -40oC selama 20 menit dan dapat diulang tiap 2 jam.


c) Kompresi : dilakukan pada ekstremitas yang edema.


d) Elevation : pada cedera pleksus brakhialis berat (adanya avulsi radiks), dapat terjadi edema yang signifikan pada ekstremitas yang terkena.


2. Ultrasound


F : 1-3MHz, diberikan selama


I : 20-30 w/m .1-2 kali per hari selama 6-8 hari atau 14 kali pemberian.


T : 5-10 menit


T :





3. TENS


F : frekuensi tinggi (50-100Hz)


I : 15-25w/m. ( menyesuaikan ).Terapi dilanjutkan selama 3 minggu dan dikurangi bertahap setelah 8 – 12 minggu.


T : 30 menit sampai 1 jam per sesi, maksimal 2 jam per sesi, dengan total 8 jam perhari.


T : Arus IDC
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar